Rabu, 30 Januari 2013

Peringatan Dini…

Seekor tikus mau masuk lumbung padi Pak Tani melalui lubang sempit yang dengan susah payah digalinya. Begitu berhasil masuk, dihadapannya sudah ada perangkap tikus yang menghadang. Dia balik lari tunggang langgang dan berteriak mengabarkan ke hewan-hewan lain akan adanya bahaya “ada perangkap….ada perangkap….ada perangkap”. Bagaimana sikap hewan lain ?

Teman-teman si tikus yang mendengar pertama kabar itu menganggapnya enteng : “oh itu sudah biasa, Pak Tani memang selalu pasang perangkap. Tapi kita kan lebih cerdik dari dia ?, kita bisa tetap makan padinya tanpa harus kena perangkapnya !”.

Ketika ayam ikut mendengar tikus berteriak  ada perangkap…”, si ayam menjawab “itu pasti bukan untuk saya, lagian saya tidak pernah masuk lumbung Pak Tani !, makanan saya tersedia cukup di luar sini…”.

Ketika kambing ikut mendengar teriakan yang sama “ada perangkap…”, si kambing menjawab : “Oh itu tidak mungkin mengenai saya, saya tidak masuk lumbung Pak Tani dan saya tidak makan padinya, makanan saya rumput diluar sana ! ”.

Ketika sapi juga ikut mendengarkan teriakan yang sama “ada perangkap…”, si sapi menjawab : “jelas itu bukan untuk saya, pintu lumbungnya saja tidak muat untuk saya masuki – saya tidak mungkin mencari makan di sana”.

Karena kesombongan tikus yang tidak mengindahkan peringatan temannya, satu tikus tetap melenggang masuk lumbung Pak Tani. Begitu melewati lubang sempit yang dibuat temannya, terdengar suara “Jepret !, cit cit cit…cit cit cit…cit cit cit…”. Satu tikus kena perangkap dan yang lain panik lari tunggang langgang.

Si ayam, Si kambing dan Si sapi tetap pada pendiriannya : “bahaya itu bukan untuk saya…!”.

Pak Tani yang menyimpan padi di lumbung tidak tahu kalau ada tikus yang terkena perangkapnya. Bangkai tikus tetap berada di lumbung padi untuk waktu yang lama. Bangkai ini menyebarkan penyakit yang terus terbawa ke padi yang dimakan keluarga petani.

Pak Tani dan anaknya memiliki badan yang sehat tidak mudah terkena penyakit, tetapi istrinya yang rentan – langsung sakit dan perlu perawatan. Ketika dalam perawatan ini makan apa saja serba tidak enak, lantas si istri bilang sama suaminya : “Makan sop ayam kali Pake enaknya…”.

Si suami yang sayang istri lantas serta merta memotong ayam - yang sebelumnya mengabaikan peringatan “ada  perangkap…”.

Sakit si istri tetap belum sembuh bahkan bertambah parah. Tetangga dan saudara jauh pada berdatangan untuk besuq sambil mendoakan kesembuhan istri Pak Tani. Karena banyak tamu, Pak Tani bingung untuk menjamunya. Dia ingat punya kambing, maka dipotonglah kambing untuk menjamu tamu-tamunya. Kambing ini adalah kambing  yang sebelumnya  juga mengabaikan peringatan “Ada perangkap…”.

Istri Pak Tani terus bertambah parah sakitnya dan akhirnya meninggal dunia. Pelayat banyak bersimpati ke Pak Tani sampai berhari-hari. Pak Tani bingung lagi bagaimana menjamu tamunya yang sangat banyak, maka dipotonglah satu-satunya yang masih tersisa yaitu sapi – yang juga sebelumnya mengabaikan peringatan “ada perangkap…”.

Begitulah sikap manusia seperti kita ketika mendapatkan peringatan akan adanya suatu bahaya. Ada yang seperti tikus yang sombong, merasa lebih pinter dari bahaya yang akan datang. Ada yang seperti ayam, kambing dan sapi – merasa peringatan itu bukan untuknya – bahwa dia tidak mungkin kena bahaya itu !. Maka ketika peringatan bahaya itu diabaikan, semuanya menjadi korban.

Begitu banyak peringatan itu sampai ke kita dari Sang Maha Pencipta dan Yang Maha Tahu, dari bahaya riba, judi, khamr sampai bahaya dari kerusakan alam, ketidak adilan pemimpin, kecurangan para pengusaha/pedagang dlsb. dlsb.

Siapkah kita sedari dini merespon peringatan tersebut dengan mengambil langkah yang benar sesuai petunjukNya ? atau kita abaikan juga ? Mudah-mudahan Allah menuntun kita pada pilihan yang pertama - memberi kita petunjuk dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Amin.


Rabu, 09 Januari 2013

Korupsi Kolektif Melalui Demokrasi dan Inflasi…

Seorang professor di Frankfurt School of Finance and Management – Germany, Prof. Thorsten Polleit belum lama ini mengungkapkan teorinya bahwa faham demokrasi yang dianut di hampir seluruh dunia saat ini telah membawa dampak korupsi kolektif yang sangat besar yaitu berupa inflasi. Dengan tingkat keilmuan beliau – yang dipercaya sebagai Chief German Economist for Barclay Capital  selama 12 tahun - tentu teori tersebut bukan  teori yang tanpa dasar.

Demokrasi yang mengandalkan suara terbanyak membuat pemerintah-pemerintah di dunia berusaha memenuhi apa yang dikehendaki oleh rakyat banyak. Pemerintah atau penguasa berkepentingan dengan perolehan suara, sehingga beresiko terhadap kelangsungan keterpilihan mereka bila tidak merespon keinginan terbanyak ini.

Masalahnya adalah keinginan masyarakat terbanyak ini belum tentu yang terbaik dan yang benar bagi kepentingan keseluruhan negeri dalam jangka panjang. Masyarakat kebanyakan akan cenderung mengharapkan hasil jangka pendek, bukan solusi yang memerlukan kerja keras dan membawa kebaikan jangka panjang.

Dalam kaitan dengan pencetakan uang misalnya, jauh lebih mudah bank-bank central dunia berkolaborasi dengan pemerintah masing-masing mencetak uang lebih banyak lagi untuk mengatasi masalah-masalah sesaat yang menjadi perhatian publik – ketimbang mencari solusi permanen dan terbaik jangka panjang yang membuat jidat mengkerut !.

Teori Prof. Thorsten Polleit ini nampaknya bisa kita saksikan langsung kebenarannya baik di negeri yang mengaku adikuasa seperti Amerika maupun apa yang kita alami di negeri ini.

Di Amerika saat ini yang menjadi isu besar adalah debt ceiling limit – batas atas hutang yang boleh dilakukan oleh pemerintah. Batas atas hutang sebesar US$ 16.4 trilyun yang diputuskan sekitar 1.5 tahun lalu tersebut kini sudah habis terpakai. Negeri itu dalam bahaya bila batas atas baru tidak berhasil disepakati antara eksekutif dan legislatif-nya dalam dua bulan ini.

Solusi yang akhirnya nanti dicapai tentu yang populer di pasar dan di rakyatnya yaitu menaikkan batas atas pinjaman ini, karena bila pinjaman dapat dinaikkan maka kehidupan masyarakat dan dunia usaha akan bisa berlanjut sebagaimana biasa - life as usual.

Tetapi masalahnya adalah apakah ini solusi terbaik ?, solusi yang bersifat permanen jangka panjang ?. Jawabannya adalah bukan solusi terbaik, ibarat orang sakit hanya dihilangkan rasa sakitnya tetapi tidak diobati penyakitnya. Buktinya mudah sekali kambuh lagi, baru 1.5 tahun lalu penyakit yang sama diusahakan mati-matian diobati – sekarang sudah kambuh lagi.

Logika sederhananya adalah kalau tetangga Anda hidup mewah dengan credit card tetapi setiap saat dikejar-kejar debt collector, ketika mereka datang kepada Anda minta tolong – lantas solusinya apakah Anda menolong dengan meminjami mereka dengan credit card Anda, atau menasihatinya untuk hidup sesuai kemampuannya ?.

Yang pertama mudah dan menyenangkan tetapi membawa bahaya ke Anda juga dalam jangka panjang. Yang kedua pahit, membuat Anda tidak populer dihadapan tetangga Anda – tetapi itulah yang benar dan bisa menyembuhkan.

Hampir pasti solusi yang akan ditempuh Amerika adalah solusi pertama karena di masyarakat demokrasi mereka, pemerintah perlu populer meskipun dengan ini tumpukan hutang akan meninggi dan bebannya kembali ke rakyat dalam jangka panjang - hanya tidak atau belum disadari saja.

Hutang yang bertambah mendorong pencetakan uang yang lebih banyak, uang yang ada di masyarakat akan turun daya belinya secara menyeluruh – dan inilah inflasi yang menjadi korupsi kolektif itu. Inflasi menjadi instrumen legal untuk mengambil kekayaan masyarakat dengan paksa dan tanpa bisa dilawan, mudah dan yang diambil hartanya tidak segera merasa kehilangan .

Contoh kasus berikutnya adalah yang kita alami di Indonesia. Karena kita menganut demokrasi yang kurang lebih sama dengan yang di Amerika, maka keputusan-keputusan yang diambil oleh eksekutif dan legislatif kita juga cenderung untuk menyenangkan masyarakat banyak dalam jangka pendek.

Ambil misalnya krisis subsidi bahan bakar, keputusannya cenderung untuk menambah subsidi untuk mampu menekan harga bahan bakar sesaat – karena ini yang mudah, populer dan diharapkan oleh masyarakat banyak. Tetapi menambah subsidi ini kan bukan menyembuhkan penyakit ? dia hanya mengurangi rasa sakit sesaat.

Upaya penyembuhan penyakit yang sesungguhnya perlu kerja keras yang bisa pahit , tidak populer dan hasilnya jangka panjang. Hasil jangka panjang inilah yang tidak sesuai dengan kepentingan demokrasi – karena saat penyakit tersebut benar-benar sembuh sudah orang atau partai lain lagi yang mendapat gilirannya untuk berkuasa dan mendapatkan kredit-nya.

Kasus yang mirip dengan subsidi bahan bakar tersebut adalah masalah impor kebutuhan bahan pokok kita seperti kedelai , daging dlsb. Masih terngiang di ingatan kita bagaimana produsen tahu dan tempe menjerit atas tingginya harga kedelai ? apa solusinya ? solusinya impor yang lebih banyak.

Sesaat kemudian pedagang daging menjerit dengan tingginya harga daging, apa solusinya ? lagi-lagi membuka kran impor yang lebih banyak. Ini semua adalah obat penghilang rasa sakit dan bukan penyembuh penyakit.

Penyakitnya sendiri kambuh dalam skala yang lebih besar dengan wabah yang lebih luas.  Berupa apa ?, inilah defisit neraca perdagangan yang dialami negeri ini tahun 2012 lalu. Ini adalah defisit pertama sejak defisit terakhir 52 tahun lalu atau tepatnya tahun 1961.

Mengapa defisit neraca perdagangan ini ibarat penyakit adalah wabah yang lebih serius dan meluas ? Karena meskipun mungkin gejalanya tidak atau belum kita rasakan – tetapi defisit ini akan menggerus nilai kekayaan siapa saja yang hidup di negeri defisit.

Karena kita lebih banyak mengkonsumsi daripada memproduksi, maka kembali ki ibarat rumah tangga Anda – apa yang terjadi bila belanja keluarga Anda lebih besar dari pendapatan Anda ?, makin lama makin miskin dan hutang akan semakin banyak.

Kalau sudah penyakit defisit ini kambuh, upaya penyembuhannya-pun bisa menyakitkan. Untuk mengurangi impor dan meningkatkan daya saing ekspor misalnya, salah satu instrumen yang biasa dipakai otoritas moneter adalah dengan menurunkan nilai uang kita.

Dengan cara ini barang-barang impor akan bertambah mahal dan kurang menarik, sebaliknya barang-barang ekspor kita terasa murah oleh uang negeri pengimpor.

Karena strategi menurunkan daya beli uang ini juga diketahui oleh seluruh negara lain di dunia, maka mereka berlomba menurunkan daya beli uangnya untuk bisa memenangkan persaingan pasar ekspor produk mereka masing-masing. Perlombaan menurunkan daya beli uang inilah yang sering disebut currency war – perang mata uang itu, perang untuk saling membanting harga uang !.

Siapa korban perang dari currency war ini ?, lagi-lagi adalah rakyat kebanyakan. Kekayaan mereka yang tersimpan dalam bentuk tabungan, deposito, asuransi, dana pensiun, tunjangan hari tua, dana kesehatan dlsb – semua yang terdenominasi dalam mata uang yang terlibat dalam currency war secara langsung maupun tidak langsung – menurun daya belinya. Inilah korban korupsi kolektif yang bermula dari demokrasi yang kemudian membawa kepada keputusan yang inflatif.

Lantas bagaimana kita dapat menghindarkan diri dari menjadi korban korupsi kolektif yang diteorikan oleh Prof. Thorsten Polleit tersebut di atas ?.

Pertama kita harus sadar dahulu bahwa kita sedang menjadi korban itu. Caranya adalah dengan mengecek penghasilan Anda, tabungan Anda, dana pensiun Anda dlsb. Apakah nilainya meningkat bila diukur dengan satuan yang baku – universal unit of account - atau malah menurun, bila ternyata menurun berarti Anda telah ikut menjadi korban korupsi kolektif itu.

Untuk mengecek pergerakan asset Anda tersebut dapat Anda gunakan Kalkulator Dinar di menu situs ini atau Kalkulator Point di www.indobarter.com .

Setelah ternyata Anda juga menjadi korban korupsi kolektif ini, maka amankan aset Anda dari Wealth Reducing Assets (aset-aset yang menjadi korban korupsi kolektif) menjadi Wealth Preserving Assets – yaitu aset-aset yang mampu mempertahankan kemakmuran pemiliknya. Yang kedua ini bisa Dinar/emas, property dan aset-aset riil lainnya yang terjaga nilainya.

Tahap berikutnya adalah mengupayakan agar aset-aset Anda menjadi Wealth Producing Assets, yaitu aset-aset yang meningkatkan kemakmuran Anda melalui usaha, perdagangan, pertanian, peternakan dlsb.

Tidak mudah, perlu kerja keras dengan berurai keringat dan kadang juga air mata, pahit dlsb. tetapi itulah obat yang sesungguhnya. Bukan sekedar penghilang rasa sakit, tetapi insyaAllah bener-bener menyembuhkan penyakit. InsyaAllah kita bisa menghindarkan diri dari menjadi korban masal dari wabah penyakit korupsi kolektif itu. InsyaAllah.

Jumat, 04 Januari 2013

Ekonomi Silaturahim...

Ketika seekor anak kucing dalam bahaya, ibunya mengamankannya dengan menggigit lehernya untuk dibawa menjauh dari bahaya. Ketika anak monyet dalam bahaya, induk monyet lari dahulu kemudian anaknya mengejar dan nggemblok di punggungnya. Anak kucing pasif dan ibunya yang aktif, sedangkan anak monyet aktif meskipun ibunya tidak peduli. Dari keduanya, mana yang lebih dekat dengan system ekonomi kita saat ini ?

Ekonomi rakyat kita sesungguhnya dalam bahaya karena setelah 67 tahun merdeka pendapatan rata-rata kita baru di kisaran US$ 3,500 atau sekitar 15 Dinar atau sekitar 75 % dari nishab zakat. Hidup di negeri yang berlimpah sumber daya alam dan manusia-manusia cerdas di dalamnya, pencapian ini mestinya patut direnungkan.

Kira-kira apa penyebabnya ? ada dua area yang menurut saya sendiri menjadi penyebab utamanya – dan ini adalah dua unsur utama ekonomi, yaitu sisi penguasaan produksi dan sisi penguasaan pasar.

Untuk produksi kita masih dijejali dengan berbagai produk orang lain, sejak bangun tidur sampai tidur kembali. Bangun tidur kita langsung mencari HP produk Amerika, Canada, Finlandia, Jepang, Korea ataupun yang dari China.

Duduk di meja makan, sarapan pagi kita makan mie atau roti yang bahan baku terigunya 100% impor. Well kadang makan nasi pakai tempe, tetapi sebagian beras dan kedelainya juga impor.

Begitu seterusnya menjelang tidur noton berita dahulu dari televisi produksi Jepang, Korea atau China lagi. Berselimut di kamar yang sejuk dengan AC produksi Jepang, Korea atau China lagi. Ironinya ketika kedinginan, kemulan dengan selimut tebal juga dari China.

Tidak masalah memang menggunakan produk impor, tidak juga haram karena memang kita diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal – dan tentunya juga saling bermuamalah. Masalahnya adalah ketika muamalah itu lebih berat ke satu arah, maka negeri yang kaya sumber daya alam bisa ketinggalan jauh dalam hal kemakmurannya.

Penguasaan pasar yang canggih oleh bangsa lain dalam system perdagangan internasional yang membuat ekonomi kita lebih condong pada ekonomi konsumsi ketimbang ekonomi produksi, inilah yang membuat keunggulan sumber daya alam maupun sumber daya manusia kita menjadi tidak terolah secara optimal.

Dengan laut kita yang sangat kaya, bumi kita yang sangat subur lengkap dengan manusianya yang banyak yang cerdas-cerdas – mestinya kita berpeluang untuk menjadi negara yang makmur – lha wong dari dulu kita tahu bumi kita ini adalah bumi yang gemah ripah loh jiawi, tongkat dan kayupun jadi tanaman, sungai dan lautannya adalah ‘kolam susu’ ?.

Tetapi kalau realitanya rata-rata penduduk negeri ini berpenghasilan dibawah nishab zakat, pasti ada yang salah dalam pengelolaan kekayaan yang melimpah di sekitar kita – yang membuat kita seperti itik yang merana di lumbung padi.

Lantas siapa yang bisa membuat perubahan atas situasi ini ? Disinilah relevannya peribahasa anak kucing dan anak monyet di awal tulisan ini. Nampaknya kita bukan ibarat anak kucing yang induknya ‘care’ dan menyelamatkan kita ketika kita dalam bahaya.

Ibarat kita lebih mendekati ibarat anak monyek yang induknya berlari dahulu menyelamatkan diri ketika melihat bahaya datang. Paling tidak dari media koran, televisi dan internet – kita menyaksikan betapa para pemimpin kita di eksekutif, legislatif dan yudikatif – umyek dengan kegaduhannya sendiri.

Dari sibuk memperebutkan kekuasaan, sibuk memupuk pundi-pundi untuk perebutan kekuasaan, korupsi sampai intrik-intrik politik yang tiada henti. Lantas siapa yang menyelamatkan rakyat ini dari kesulitan demi kesulitan ?, dari ekonomi yang didominasi oleh produk asing ataupun konglomerasi dalam negeri ? ya rakyat ini sendirilah yang harus aktif menyelamatkan diri lha wong ‘induk’ kita nampak tidak peduli dan bahkan pada berlarian sendiri-sendiri.

Tetapi apa yang bisa dilakukan oleh rakyat ini ?, meyambung silaturahim dalam arti yang sesungguhnya insyaallah bisa menjadi solusi. Bukan basa-basi tetapi dengan niat yang serius dan tulus kita ingin saling berbagi. Berbagi sumber daya, pasar, kesempatan, pengetahuan dlsb.

Tahun ini dan tahun depan, para elit negeri ini akan disibukkan oleh gonjang-ganjing politik di arena pemilu legislatif dan eksekutif. Pada saat yang bersamaan, ekonomi dunia yang lagi belum sembuh benar dari krisis sejak 2008 – mungkin akan terus berlanjut dan bahkan juga mungkin ada trigger krisis ekonomi baru oleh perubahan geopolitik dunia seperti meningkatnya ketegangan China dengan Jepang dlsb.

Rakyat seperti kita-kita, harus bisa proaktif menyelamatkan urusan ekonomi kita sendiri, dengan memulai dari orang-orang yang kita kenal di lingkungan atau komunitas kita. Dengan membuka hati dan tangan kita untuk saudara kita, bagaimana kita bisa saling membantu. Bagaimana kita bisa saling membeli atau bertukar produk-produk kita sendiri.

Mulai dari lingkup yang kecil, ketika roda-roda gigi itu saling memutar – maka dia akan sanggup memutar roda gigi yang lebih besar dan seterusnya. Dengan ekonomi yang berbasis silaturahim kerakyatan ini, insyaAllah kita akan bisa selamat meskipun ‘induk-induk’ kita sibuk berlarian menyelamatkan diri sendiri. Wa Allahu A’lam.

Rabu, 02 Januari 2013

Apakah Anda Seorang Seniman…?

Revolusi industri hampir tiga abad terakhir telah membawa dunia pada tingkat kemajuan yang kita nikmati sekarang. Revolusi industri ini membawa perubahan besar pada jenis pekerjaan utama masyarakat, yang semula didominasi petani menjadi didominasi buruh industri dan pekerja kerah putih penunjangnya. Kita yang hidup di jaman ini menyaksikan perubahan berikutnya, yaitu pergeseran ke arah dominasi industri jasa – yang dominan kini bukan lagi buruh atau pekerja tetapi para ‘seniman’, kok bisa ?

Yang saya maksud dengan ‘seniman’ disini tentu bukan pekerja seni yang mengasilkan karya lukis, karya musik, karya pertunjukan dlsb. Yang saya maksud seniman adalah siapa saja yang berkarya orisinal dari kreativitas dirinya sendiri, dengan karya yang belum ada sebelumnya, karya indah yang bukan hanya si seniman sendiri yang tahu keindahannya tetapi juga orang lain bisa menikmati keindahannya.

Karya seniman adalah karya yang dihasilkan dari hati, diwujudkan dengan sebuah komitmen pribadi yang tinggi, karya yang merefleksikan sang seniman karena awalnya memang memang lahir dari dia – atau dia yang membesarkannya.

Ibarat sebuah perjalanan, karya seniman ini adalah perjalanan yang belum ada di peta, perjalanan yang penuh resiko karena memang belum ada yang menempuh sebelumnya. Justru dia sang seniman-lah yang akan membuat peta, untuk kemudian orang lain mengikutinya.

Sekarang perhatikan mulai dari yang ada di  sekitar Anda, mulai dari sistem operasi komputer yang Anda gunakan untuk membaca tulisan ini, facebook, twitter, google dlsb. yang dengannya Anda menemukan tulisan ini dst. semuanya adalah karya seni yang luar biasa, original, indah dan tidak terhitung jumlah orang yang bisa ‘menikmati’ manfaatnya.

Pertanyaannya adalah itu semua kan karya orang lain – ya para seniman tadi. Lantas apa karya Anda ?

Di sinilah challenge itu. Selama Anda mempersepsikan diri Anda sebagai buruh atau pegawai di era industri,  maka Anda akan tetap bekerja pada set of rules yang sudah ada – yang dibuat oleh orang lain. Karena sudah ada yang membuatkan peta pekerjaan Anda sampai juga karir Anda, maka aman bagi Anda bila mengikuti peta itu. Tetapi sebagaimana perjalanan menggunakan peta yang sudah ada, perjalanan terjauh Anda adalah ya yang ada di peta itu.

Sebaliknya bila Anda rela menempuh perjalanan baru, diluar dari peta yang sudah pernah dibuat oleh orang lain – maka perjalanan ini memang penuh resiko – tetapi bisa juga membawa Anda ke tempat yang sama sekali baru yang belum pernah ditemukan oleh orang lain sebelumnya.

Software computer, google, facebook, twitter dlsb. adalah karya para seniman yang rela menempuh perjalanan baru yang penuh resiko. Andapun insyaallah bisa menggambar peta Anda sendiri dan menempukan tempat-tempat yang baru, yang belum pernah dijamah oleh manusia – bila Anda bukan hanya seorang pekerja tetapi Anda adalah seorang ‘seniman’ itu…Wa Allahu A’lam.

Awas Ada Cerberus Di Jalan Anda…

Cerberus adalah monster berkepala tiga dalam mythology Yunani kuno yang menjadi penjaga dunia bawah tanah. Diperlukan tiga kepala sebagai perlambang keperkasaannya untuk menghadang siapa saja yang hendak melewati gerbang yang dijaganya. Di antara tempat Anda berdiri sekarang dengan apa yang Anda cita-citakan, ada juga penghadang semacam cerberus berkepala tiga ini. Anda hanya akan bisa sampai pada apa yang Anda cita-citakan bila berhasil membunuh sekaligus tiga kepala cerberus – yang dalam hal ini adalah passivity (kepasifan), procrastination (penunda-nundaan) dan perfectionism (kesempurnaan).

Anda ingin meninggalkan pekerjaan Anda dari perusahaan atau institusi mapan yang kini Anda nikmati, untuk terjun merealisasikan cita-cita menjadi full time entrepreneur.  Segala macam kursus dan seminar sudah Anda ikuti, berbagai buku entrepreneurship sudah Anda baca, tabungan untuk modal-pun sudah Anda persiapkan – lantas apa yang menghalangi Anda untuk mulai ? tiga hal inilah penghalangnya.


Passivity

Anda tidak mulai-mulai karena tidak ada yang memaksa Anda untuk mulai. Sejak di bangku sekolah dari SD sampai perguruan tinggi Anda terbiasa ujian atau tes dengan menjawab pertanyaan, bukan membuat pertanyaan. Di tempat kerja Anda menjalankan job description Anda, bukan berimprovisasi menyusun job description Anda sendiri.

Ketika Anda akan memulai terjun menjadi entrepreneur, segalanya berubah. Tidak ada lagi pertanyaan yang harus Anda jawab dan job description yang harus Anda kerjakan. Anda harus membuat pertanyaan-pertanyaan Anda sendiri dan sekaligus mencari jawabannya sendiri, Anda juga harus merencanakan ‘job description’ Anda sendiri sekaligus disiplin dalam melaksanakannya.

Dunia entrepreneur adalah dunia aktif bukan dunia pasif, selama monster kepasifan masih menguasai diri Anda – monster ini harus dibunuh lebih dahulu agar tidak menghalangi jalan Anda.

Bagaimana merubah sikap pasif menjadi aktif ini ? temukan jalannya dengan menggali apa-apa yang bisa menjadi motif kuat bagi Anda untuk melakukannya. Misalnya dengan menyadari bahwa hidup ini hanya sekali dan usia ini-pun terbatas padahal keinginan kita tanpa batas, mengapa tidak mengejarnya secara maksimal selagi usia masih ada ?


Procrastination

Sejak sekolah dari SD sampai di perguruan tinggi Anda terbiasa belajar menjelang hari ujian, belajar untuk menghadapi tes. Anda menyia-nyiakan waktu yang banyak setiap hari, dan belajar habis-habisan hanya menjelang ujian. Ketika Anda bekerja, sering harus kerja lembur menjelang tutup buku – menjelang berakhirnya tenggat waktu.

Procrastination atau penunda-nundaan adalah kepala monster berikutnya yang harus Anda bunuh agar tidak lagi menjadi penghalang cita-cita Anda.

Kebanyakan pegawai yang ingin pindah kwadran menjadi entrepreneur, menunda-nunda waktu untuk memulainya sampai waktu itu habis. Sampai  pensiun ketika menjadi entrepreneur adalah suatu keterpaksaan, ketika fisik sudah tidak lagi perkasa, ketika network sudah banyak berkurang, ketika PD (Percaya Diri) mulai meluruh – Anda bisa bayangkan sendiri  peluang keberhasilannya !

Lantas apa solusinya ? Lakukan sekarang apa yang bisa dilakukan sekarang, bila belum bisa dilakukan buatlah time frame untuk melakukannya.

Saya sendiri terus terang dahulu mengalami procrastination ini, karena target saya waktu itu keluar dari jabatan eksekutif saya untuk mulai usaha di usia 40 tahun. Karena keenakan duduk lupa berdiri, cita-cita itu baru bener-bener saya laksanakan 5 tahun kemudian – setelah memaksakan diri untuk memilih its now or never !. Time frame yang sudah saya buat sejak usia 30-an memudahkan saya untuk mengambil keputusan ini akhirnya – meskipun agak telat.


Perfectionism

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, maka bila Anda mengejar kesempurnaan Anda akan kehabisan waktu. Perfectionism berbeda dengan excellence, perfectionism akan terus mencari kekurangan untuk bisa disempurnakan, walhasil karena tidak ada kesempurnaan itu – maka waktu Anda habis hanya untuk mencari sesuatu yang tidak ada.

Excellence adalah kwalitas yang jauh di atas rata-rata, kalau ini Anda bisa kejar dan memang harus dikejar.

Jadi ketika Anda membuat perencanaan, time frame dlsb. untuk menggapai cita-cita Anda – justru hindari dari sifat perfectionism. Sifat ini akan membuat Anda berputar-putar ditempat karena terus mencari kelemahan untuk disempurnakan. Ketemu kelemahan ini dan berhasil diatasi, muncul lagi kelemahan yang itu yang perlu pula diatasi dan begitu seterusnya.

Untuk melawan perfectionism ini, kembali time frame tersebut di atas bisa membantu. Persiapkan segala sesuatunya secara maksimal, sampai derajat excellence atau jauh di atas rata-rata. Bila time frame Anda habis, mulai implementasikan rencana Anda meskipun masih ada kekurangan di sana-sini.

Menyadari bahwa kesempurnaan itu tidak pernah Anda capai juga akan membuat Anda merasa selalu membutuhkan pertolonganNya. Ketika Anda-pun berhasil, Anda tidak menjadi sombong seolah keberhasilan itu adalah karena kesmpurnaan Anda.

Di tahun baru ini, tahun dimana Anda bertekad untuk merealisasikan cita-cita Anda – maka persiapkan diri Anda untuk menjadi perkasa sehingga mampu melawan cerberus Anda yang berkepala tiga yaitu kepasifan, penunda-nundaan dan kesempurnaan. Setelah itulah jalan untuk menggapai cita-cita itu akan terbuka di depan Anda, InsyaAllah !.